Awal 2025, 16 Anak Palestina Terbunuh dalam Konflik Tepi Barat dengan Tentara Israel
Tentara Israel telah menewaskan 16 anak Palestina di Tepi Barat yang masih diduduki sejak awal tahun 2025. Berdasarkan laporan dari organisasi Defense for Children International, korban-korban tersebut tidak memiliki ancaman nyata terhadap pasukan Israel, namun tetap kehilangan nyawa mereka dalam serangan militer. Ayed Abu Eqtaish, Direktur Program Akuntabilitas dari organisasi tersebut, menegaskan bahwa kurangnya tindakan hukum terhadap tentara Israel atas pelanggaran hak asasi manusia ini memungkinkan mereka untuk melanjutkan tindakan brutal mereka tanpa ada rasa takut akan konsekuensi. “Tanpa adanya pertanggungjawaban yang jelas, pasukan Israel merasa diberi lampu hijau untuk terus melanjutkan kekerasan ini,” ungkap Abu Eqtaish dalam wawancaranya dengan Anadolu, pada Sabtu (1/3).
Abu Eqtaish mengungkapkan salah satu contoh tragis, yaitu pembunuhan seorang anak bernama Ayman Al-Haimouni yang baru berusia 13 tahun, yang ditembak mati pada 21 Februari 2025 di kota Hebron, Tepi Barat selatan. Menurut penjelasan Abu Eqtaish, Ayman tidak memberikan ancaman apa pun terhadap tentara Israel saat ia ditembak. Hal ini semakin memperburuk kondisi, di mana semakin seringnya tentara Israel menembaki anak-anak Palestina yang tidak bersenjata, menyebabkan peningkatan jumlah korban jiwa dan luka-luka yang melibatkan anak-anak.
Selain itu, Abu Eqtaish juga menyoroti bahwa dalam beberapa kejadian baru-baru ini, tentara Israel dengan sengaja menghalangi ambulans yang berusaha menyelamatkan korban luka dan bahkan menyerang keluarga para korban. Ini menunjukkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel telah menjadi praktik militer yang sistematis, yang memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah yang telah lama terbelah ini.
Pada 10 Februari 2025, surat kabar Israel Haaretz melaporkan bahwa tentara Israel telah memperluas aturan keterlibatannya di Tepi Barat yang diduduki, yang mengarah pada peningkatan jumlah warga sipil Palestina yang terbunuh. Melalui laporan tersebut, diketahui bahwa Komando Pusat tentara Israel telah memperkenalkan kebijakan yang mirip dengan aturan keterlibatan yang diterapkan di Jalur Gaza, yang memungkinkan pasukan Israel untuk membunuh warga Palestina yang tidak bersenjata, baik mereka dicurigai atau tidak melakukan apapun yang mengancam pasukan Israel. Hal ini semakin mempermudah pasukan Israel untuk menembak dan membunuh warga Palestina tanpa harus menangkap mereka terlebih dahulu.
Menurut laporan tersebut, beberapa tentara Israel yang terlibat dalam operasi militer di Tepi Barat mengungkapkan bahwa mereka diberikan izin untuk menembak dengan tujuan membunuh, tanpa harus menangkap atau menginterogasi warga Palestina terlebih dahulu. Ini mengarah pada peningkatan jumlah korban tewas di kalangan warga Palestina yang tidak bersenjata di Tepi Barat, yang mereka sebut sebagai hasil langsung dari perintah yang dikeluarkan oleh Komandan Komando Pusat, Avi Blot. Para tentara itu mengaitkan tingginya jumlah kematian ini dengan kebijakan yang memberi mereka kebebasan lebih dalam menghadapi warga Palestina yang dicurigai terlibat dalam aktivitas terorisme.
Sejak 21 Januari 2025, operasi militer yang dilakukan oleh Israel di Tepi Barat utara telah menewaskan setidaknya 64 orang dan menyebabkan ribuan warga Palestina terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Otoritas Palestina telah mengingatkan bahwa serangan militer ini adalah bagian dari agenda yang lebih besar dari pemerintah Israel di bawah pimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang ingin mencaplok wilayah Tepi Barat dan mendeklarasikan kedaulatan penuh atas wilayah tersebut. Ini menandakan ancaman serius terhadap solusi dua negara yang telah lama didorong oleh komunitas internasional.
Serangan yang terjadi di Tepi Barat merupakan bagian dari eskalasi militer yang lebih luas sejak serangan terhadap Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023. Menurut data dari Kementerian Kesehatan Palestina, sedikitnya 927 warga Palestina telah tewas dan hampir 7.000 lainnya terluka akibat serangan tentara Israel dan pemukim ilegal yang semakin memperburuk kondisi di wilayah tersebut.
Peringatan internasional semakin menguat terkait pendudukan Israel yang telah berlangsung lama di wilayah Palestina. Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah pelanggaran hukum internasional dan mendesak Israel untuk menarik semua permukiman yang ada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Namun, situasi yang semakin memanas ini menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan wilayah tersebut dan masa depan solusi damai yang tampaknya semakin sulit terwujud.