Warga Korea Selatan Demo Besar-besaran Tuntut Pemberantasan Kasus Deepfake Porno
Jakarta – Ribuan warga Korea Selatan turun ke jalan di ibu kota Seoul untuk menyuarakan protes terhadap meningkatnya kasus pornografi deepfake yang meresahkan. Para demonstran mendesak pemerintah untuk bertanggung jawab atas maraknya kejahatan ini dan mendesak tindakan tegas untuk melindungi korban.
Menurut laporan South China Morning Post (SCMP), sekitar 1.200 demonstran dari ratusan organisasi sipil menggelar aksi di Seoul pada Jumat (6/9/2024) malam. Mereka meneriakkan seruan untuk mengembalikan kehidupan yang aman dan bebas dari rasa takut akibat penyebaran konten deepfake yang semakin meluas.
“Mari kita akhiri rasa takut ini dan berjuang untuk kehidupan yang lebih aman!” seru para demonstran dalam aksi tersebut.
Pemerintah Dinilai Lamban Menangani Kasus Deepfake
Dalam aksi ini, sejumlah orator menyuarakan kekecewaan mereka terhadap minimnya respons pemerintah dalam menangani kasus-kasus pornografi deepfake. Mereka menuduh pemerintah gagal memberikan dukungan yang memadai bagi para korban, sehingga masalah ini semakin meluas. Selain itu, budaya misoginis yang mendalam di Korea Selatan disebut-sebut turut memicu peningkatan kejahatan ini.
Salah seorang korban deepfake yang merupakan mahasiswa di Universitas Hanyang, menyampaikan pengalamannya. Ia mengungkapkan ketakutan dan kemarahannya karena pelaku yang menggunakan wajah teman-teman sekelasnya untuk membuat konten pornografi, justru dianggap sebagai mahasiswa teladan dan akhirnya dibebaskan oleh pengadilan.
“Yang membuat saya takut adalah bagaimana pelaku dipandang sebagai mahasiswa teladan meskipun dia membuat konten pornografi menggunakan wajah teman-teman kami,” kata korban.
Aparat Hukum Dinilai Tak Efektif dalam Penanganan Kasus
Selain kekecewaan terhadap pemerintah, aparat penegak hukum juga menjadi sorotan dalam aksi tersebut. Para demonstran menuding pihak kepolisian sering kali meminta bukti visual dari korban sebagai syarat untuk menindaklanjuti laporan mereka. Ini menjadi salah satu kendala yang menghambat banyak korban melapor.
Choi Ji Soo, seorang demonstran berusia 30-an, mengungkapkan bahwa korban sering kali kesulitan melaporkan kasus mereka karena merasa tidak didukung oleh aparat penegak hukum. “Aparat justru meminta korban membawa bukti video untuk bisa memproses kasusnya, ini sangat tidak manusiawi,” ungkap Choi.
Kurangnya Pendidikan Seksual Komprehensif Menjadi Pemicu
Selain tuntutan kepada pemerintah dan aparat, Kim Chan Seo dari Pusat Pendidikan dan Konseling Seksualitas Remaja Aha menyoroti faktor lain yang memicu masalah ini, yaitu kurangnya pendidikan seksual komprehensif di Korea Selatan. Menurutnya, ketidakpahaman tentang seksualitas mendorong banyak laki-laki untuk mencari cara-cara yang ekstrem dalam mengekspresikan hasrat mereka, yang pada akhirnya menciptakan “budaya pemerkosaan” di masyarakat.
“Kurangnya edukasi seksual yang tepat membuat mereka beralih ke metode yang lebih ekstrem dalam memahami dan mengekspresikan seksualitas,” tegas Kim.
Penyebaran Deepfake Lewat Telegram dan Aksi Lamban Pemerintah
Kasus pornografi deepfake di Korea Selatan semakin mencuat setelah sejumlah ruang obrolan di aplikasi Telegram bocor ke publik. Ruang obrolan ini diduga mendistribusikan materi deepfake dengan korban mulai dari anak di bawah umur hingga mahasiswa, guru, dan personel militer. Salah satu ruang obrolan diketahui memiliki lebih dari 220 ribu anggota yang terlibat dalam penyebaran konten tersebut.
Telegram sendiri telah meminta maaf kepada pemerintah Korea Selatan karena gagal menangani materi-materi tersebut dan berjanji akan menghapus konten deepfake tertentu yang dilaporkan oleh pihak berwenang.
Chang Da Hye, dari Institut Kriminologi dan Keadilan Korea, menyatakan bahwa langkah yang diambil pemerintah sejauh ini masih jauh dari cukup. “Meskipun mereka berfokus pada penghapusan konten, langkah-langkah ini tidak cukup untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang,” ungkapnya.
Undang-Undang dan Penegakan Hukum yang Lemah
Kendati Korea Selatan telah merevisi Undang-Undang Kekerasan Seksual pada tahun 2020 untuk mengatasi kasus pornografi deepfake, pelaksanaannya dinilai masih kurang efektif. Undang-undang ini memungkinkan pelaku dihukum penjara hingga lima tahun atau dikenakan denda hingga 50 juta won (setara Rp575 juta). Namun, hanya sedikit pelaku yang benar-benar dihukum berdasarkan undang-undang ini, dengan tingkat penangkapan hanya sekitar 48 persen pada tahun lalu.
Baru-baru ini, Badan Kepolisian Nasional Korea Selatan memulai penyelidikan terhadap Telegram karena dinilai berpotensi membantu penyebaran konten deepfake. Langkah ini dianggap sebagai perubahan besar dalam pendekatan penegakan hukum terhadap kejahatan seksual berbasis online.