Suriah Pasca-Assad: Ahmad al-Sharaa Ditunjuk Sebagai Presiden Sementara di Tengah Tantangan Besar

Setelah berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad bulan lalu, faksi-faksi pemberontak Suriah kini menunjuk Ahmad al-Sharaa sebagai presiden sementara pada Rabu (29/1/2025). Keputusan ini bertujuan untuk memperlihatkan persatuan di antara kelompok-kelompok yang sebelumnya berperang, sekaligus mempersiapkan rekonstruksi negara setelah hampir 14 tahun konflik berkepanjangan.

Al-Sharaa, yang pernah terafiliasi dengan al-Qaeda dan dikenal dengan nama Abu Mohammed al-Golani, memimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dalam serangan yang menggulingkan Assad pada Desember 2024. Meskipun HTS memiliki sejarah keterkaitan dengan al-Qaeda, kelompok ini telah menjauhkan diri dari afiliasi tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Penunjukan al-Sharaa diumumkan dalam pertemuan faksi-faksi pemberontak di Damaskus. Namun, belum ada kejelasan mengenai mekanisme pemilihannya. Kantor berita pemerintah Suriah, SANA, mengutip pernyataan juru bicara pemerintahan baru, Kolonel Hassan Abdul Ghani, yang menegaskan bahwa konstitusi Suriah yang diadopsi pada 2012 telah dibatalkan dan dewan legislatif sementara akan segera dibentuk hingga konstitusi baru disusun.

Dalam pidato perdananya, al-Sharaa menekankan pentingnya membangun kembali negara dengan menghindari balas dendam, serta menerapkan keadilan transisi demi perdamaian sipil. Ia juga menegaskan bahwa kesombongan setelah kemenangan hanya akan membawa Suriah kembali ke kediktatoran.

Penunjukan al-Sharaa disambut dengan perayaan di berbagai kota, termasuk di Damaskus, di mana warga turun ke jalan membunyikan klakson mobil dan menembakkan senjata ke udara. Sebagian besar warga melihatnya sebagai pemimpin yang kompeten untuk memimpin transisi negara. Namun, ada juga yang mengkritik kurangnya transparansi dalam proses pemilihannya serta ketidakjelasan rencana pemerintahan selanjutnya.

Qatar menjadi negara pertama yang memberikan tanggapan resmi, menyambut baik keputusan ini sebagai langkah menuju konsensus dan persatuan nasional. Sementara itu, negara-negara Barat yang sebelumnya mulai memulihkan hubungan dengan Suriah setelah jatuhnya Assad masih berhati-hati dalam merespons kepemimpinan baru ini.

Selain itu, semua kelompok bersenjata di Suriah direncanakan akan dibubarkan dan diserap ke dalam lembaga negara. Meski demikian, tantangan besar masih membayangi, terutama dalam menyatukan berbagai faksi pemberontak yang memiliki pemimpin dan ideologi berbeda.

Kelompok-kelompok Kurdi yang didukung Amerika Serikat, yang telah menciptakan wilayah otonomi sejak awal konflik, tidak hadir dalam pertemuan faksi-faksi bersenjata dan belum memberikan tanggapan resmi. Sejak kejatuhan Assad, ketegangan antara pasukan Kurdi dan kelompok bersenjata pro-Turki yang beraliansi dengan HTS terus meningkat, terutama di wilayah utara Suriah.

Di Forum Ekonomi Dunia di Davos awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Suriah yang baru, Asaad al-Shibani, menegaskan bahwa negara tersebut membutuhkan dukungan komunitas internasional untuk memulai rekonstruksi setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara yang menghancurkan.