Strategi Diplomasi Indonesia untuk Menghadapi Krisis Suriah
Situasi politik dan keamanan di Suriah menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat kompleks dalam diplomasi global. Dengan pengambilalihan wilayah Suriah oleh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), Indonesia dihadapkan pada keputusan sulit. HTS, yang masih dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional, mendapat dukungan lokal bukan karena ideologi mereka, tetapi karena masyarakat frustrasi dengan janji-janji yang tak terpenuhi oleh rezim Bashar al-Assad selama bertahun-tahun. Kondisi ini menciptakan tantangan diplomatik bagi Indonesia, yang harus mempertimbangkan langkah strategisnya dengan hati-hati.
Dalam laporan terbaru, muncul pembicaraan tentang potensi pencabutan HTS dari daftar sanksi internasional. Langkah ini berpotensi mengubah peta politik di kawasan, meskipun indikasi hubungan HTS dengan Al-Qaeda masih menjadi perhatian besar. Sementara itu, Turkiye, salah satu pemain kunci di kawasan, menghadapi tantangan besar dengan perbatasan Suriah yang panjang dan krisis pengungsi yang membebani ekonominya. Turkiye juga harus menjaga hubungan strategisnya dengan Amerika Serikat, di mana stabilitas regional menjadi syarat penting dalam kerja sama bilateral.
Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, yang akan dilantik pada Januari 2025, membawa pendekatan baru yang menekankan perdamaian global dan menolak keterlibatan dalam konflik tanpa tujuan jelas. Kebijakan ini mengindikasikan pergeseran strategi Amerika di Timur Tengah, terutama dengan tawaran otonomi khusus bagi suku Kurdi, seperti yang diterapkan di Irak. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ancaman milisi bersenjata di perbatasan Turkiye, sekaligus menciptakan sekutu baru di kawasan.
Indonesia dan Tantangan Diplomatik
Bagi Indonesia, perkembangan ini menambah lapisan tantangan baru. Jika Indonesia memilih mendekati HTS untuk melindungi WNI dan menjaga stabilitas di Suriah, risiko munculnya stigma sebagai pendukung organisasi teroris menjadi sangat nyata. Sebaliknya, mengambil sikap menjauh bisa memutus akses terhadap WNI yang masih berada di Suriah. Pendekatan diplomasi yang cermat dan berfokus pada isu kemanusiaan menjadi pilihan paling bijak untuk saat ini.
Indonesia perlu bekerja sama dengan organisasi internasional seperti PBB untuk menjaga relevansi diplomasi dan konsistensi kebijakan. Kerja sama strategis dengan Turkiye juga dapat memberikan keuntungan, mengingat peran Turkiye sebagai pemain utama di kawasan. Dengan pendekatan “tunggu dan lihat”, Indonesia dapat tetap netral sambil memantau perkembangan di Suriah, termasuk status HTS dan perubahan dinamika kekuatan regional.
Perkembangan di kawasan ini menjadi elemen penting yang perlu direspons dengan strategi yang fleksibel. Indonesia harus memastikan langkah diplomatik yang tidak hanya melindungi kepentingan nasional tetapi juga mendukung stabilitas dan perdamaian global.