Panas! Trump dan Netanyahu Berusaha Menekan MBS untuk Ubah Sikap tentang Palestina

Hubungan rahasia yang diklaim telah terjalin selama bertahun-tahun antara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Arab Saudi kini berakhir dalam waktu singkat. Dalam sebuah wawancara dengan Channel 14 saat kunjungannya ke Washington, Netanyahu secara terbuka mengungkapkan kedekatan yang selama ini dirahasiakan.

“Kami telah menjalin hubungan diam-diam selama hampir tiga tahun. Di pihak kami, hanya tiga orang selain saya yang mengetahuinya. Begitu pula di pihak mereka dan Amerika,” ujar Netanyahu dengan nada membanggakan.

Namun, menurut David Hearst, analis Timur Tengah dan pendiri Middle East Eye (MEE), pernyataan Netanyahu bisa jadi hanya strategi politik semata. Jika hubungan ini benar-benar ada, maka seharusnya pengungkapannya dilakukan atas kesepakatan bersama atau setelah hubungan tersebut berakhir.

Ambisi Pribadi di Balik Diplomasi Tertutup

Hubungan Israel dan Arab Saudi selama ini lebih didasarkan pada kepentingan individu, bukan kepentingan negara. Mohammed bin Salman (MBS), yang awalnya hanya seorang pangeran tanpa pengaruh besar, melihat jalan menuju kekuasaan ada di antara Tel Aviv dan Washington. Sejak menjadi Putra Mahkota Arab Saudi, MBS secara diam-diam menjalin komunikasi dengan Israel, termasuk pertemuan rahasia pada 2017.

Menurut laporan, MBS pernah mengkritik keras perjuangan Palestina, bahkan mendesak Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk memilih antara bernegosiasi dengan Israel atau diam. Sebelum konflik besar yang pecah pada 7 Oktober 2023, MBS dikabarkan semakin dekat dengan Perjanjian Abraham, sebuah kesepakatan yang mempererat hubungan Israel dengan negara-negara Arab.

Namun, setelah serangan Hamas ke Israel, kebijakan Arab Saudi tetap tidak berubah. Tak ada toleransi terhadap protes pro-Palestina, bahkan pengibaran bendera Palestina di Makkah dilarang.

Netanyahu Menantang Arab Saudi

Dalam wawancaranya, Netanyahu dengan lantang menyatakan bahwa jika Arab Saudi benar-benar ingin membantu Palestina, mereka bisa memberikan wilayah mereka sendiri sebagai tanah bagi negara Palestina. “Saudi punya banyak tanah, mereka bisa mendirikan negara Palestina di sana,” katanya.

Pernyataan ini memicu gelombang kemarahan di dunia Arab, termasuk dari Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), Irak, Qatar, dan Kuwait. Kementerian Luar Negeri Arab Saudi pun mengeluarkan respons tegas, menolak segala bentuk upaya pengalihan isu dari kejahatan Israel di Gaza.

Trump dan Netanyahu: Manuver Politik yang Berisiko

Tak hanya Netanyahu, Donald Trump juga memainkan peran besar dalam membentuk peta politik Timur Tengah. Trump pernah menegaskan bahwa normalisasi hubungan Arab Saudi dengan Israel tidak membutuhkan solusi dua negara.

Namun, Arab Saudi membalas dengan pernyataan tegas dalam waktu 45 menit, menegaskan bahwa tidak akan ada hubungan dengan Israel tanpa kemerdekaan Palestina. Sikap ini menunjukkan bahwa Riyadh tidak akan begitu saja tunduk pada tekanan AS dan Israel.

Perubahan Strategi Arab Saudi dan Dampaknya ke Timur Tengah

Dalam 15 bulan terakhir, dunia Arab seakan pasif dalam menanggapi agresi Israel. Namun, kini situasi mulai berubah. Arab Saudi, Mesir, dan Yordania mulai membangun blok baru untuk menekan Israel.

Netanyahu mungkin merasa dapat memaksakan perdamaian dengan kekuatan militer, tetapi justru tindakannya memperburuk ketegangan. Jika pemindahan massal rakyat Palestina benar-benar terjadi, dampaknya tidak hanya akan mengguncang Mesir dan Yordania, tetapi juga seluruh dunia Arab, termasuk Arab Saudi.

Dalam kondisi ini, Arab Saudi pun semakin mempererat hubungannya dengan Iran dan negara-negara Muslim lainnya. MBS kini menyadari bahwa Palestina adalah isu yang sangat penting bagi rakyatnya, dan sikap keras terhadap Israel dapat meningkatkan legitimasi politiknya.

Kesimpulan: Babak Baru Diplomasi Timur Tengah

Dalam hitungan hari, Netanyahu dan Trump telah menghancurkan upaya mereka sendiri dalam membangun koalisi dengan dunia Arab. Kini, Arab Saudi kembali ke kebijakan nasionalisme Arab, mirip dengan era Raja Faisal lima dekade lalu.

Jika Netanyahu terus memaksakan agendanya dengan kekerasan, bukan tak mungkin dunia Arab akan bersatu melawannya. Seperti yang dikatakan oleh mantan kepala intelijen Arab Saudi, Pangeran Turki al-Faisal, “Tindakan kolektif dari dunia Arab dan Muslim bisa segera terjadi.”

Pertanyaannya sekarang, apakah Netanyahu akan tetap bertaruh dengan strategi konfrontatifnya, atau justru terjebak dalam konflik yang semakin sulit dikendalikan?