Menguji Kedewasaan Demokrasi: Isu Pemakzulan dan Penegakan Konstitusi
Setiap babak sejarah bangsa selalu melibatkan dinamika yang menguji kedewasaan dalam berdemokrasi, dan isu terkini tentang pemakzulan adalah salah satunya. Salah satu tokoh yang menjadi perhatian terkait wacana ini adalah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang menghadapi tuntutan tersebut dari sebagian kalangan. Beberapa pihak melihat wacana pemakzulan ini sebagai bagian dari ketegangan yang wajar dalam masa transisi kepemimpinan.
Namun, dalam negara yang berpegang pada hukum dan konstitusi, setiap debat tentang kekuasaan harus tetap berada dalam batas yang ditetapkan oleh aturan yang sudah disepakati bersama. Indonesia bukan sekadar kumpulan kehendak politik, tetapi adalah negara hukum yang menempatkan hukum sebagai panglima. Oleh karena itu, pemberhentian seorang Presiden atau Wakil Presiden tidak bisa dilakukan hanya atas desakan sekelompok orang, melainkan harus melalui prosedur resmi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 7A jelas menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya bisa diberhentikan setelah usul dari DPR yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK), dengan tuduhan pelanggaran berat. Tanpa memenuhi syarat tersebut, setiap upaya pemakzulan bertentangan dengan semangat konstitusi. Pro dan kontra adalah hal yang wajar dalam demokrasi, namun upaya untuk mencopot jabatan tanpa dasar hukum hanya akan merusak tatanan yang sudah ada.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu menghargai keputusan-keputusan hukum dan konstitusional yang telah ditetapkan. Keputusan yang keluar dari lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, DPR, atau KPU harus diterima dengan penuh penghormatan, meskipun tidak selalu mudah. Ketidakpuasan terhadap hasil yang sah tidak seharusnya menggoyahkan kepercayaan terhadap hukum dan demokrasi yang ada. Menghormati hukum adalah langkah penting untuk menjaga persatuan bangsa.