Jeritan Korban Penipuan di Myanmar, Terjebak dalam Kamp Tak Layak
“Demi Tuhan, saya butuh bantuan,” bisik seorang pria di ujung telepon dengan suara lemah. Seorang pria asal Ethiopia yang memperkenalkan dirinya sebagai Mike saat ini berada di sebuah gedung yang difungsikan sebagai kamp penampungan sementara di Myanmar, tak jauh dari perbatasan Thailand, bersama sekitar 450 orang lainnya. Mereka adalah sebagian dari ribuan korban yang telah dibebaskan dari pusat-pusat penipuan yang marak di perbatasan kedua negara selama bertahun-tahun.
Namun, kebebasan tidak serta-merta membawa mereka kembali ke kehidupan yang lebih baik. Ribuan orang kini terlantar di kamp-kamp darurat karena lambatnya proses pemulangan ke negara asal. Kelompok milisi bersenjata yang sebelumnya menyelamatkan mereka kini kewalahan mengawasi lebih dari 7.000 korban yang masih menunggu kepastian. Salah satu anggota milisi bahkan mengungkapkan bahwa mereka terpaksa menghentikan pembebasan para korban karena lambannya pemindahan mereka ke Thailand.
BBC menemukan bahwa kondisi di kamp-kamp darurat itu sangat memprihatinkan. Lingkungan yang tidak higienis dan pasokan makanan yang hampir tidak mencukupi memperburuk keadaan para korban. Seperti Mike, banyak dari mereka mengalami masalah kesehatan serius setelah mengalami kekerasan selama bekerja di pusat-pusat penipuan. Mike sendiri menderita serangan panik akibat pemukulan yang sering ia terima selama setahun terakhir.
Di kamp tempat Mike berada, para penghuni hanya mendapat dua kali makanan pokok sehari. Keterbatasan fasilitas semakin parah dengan hanya tersedia dua kamar mandi untuk 450 orang, sehingga banyak dari mereka terpaksa buang air di sembarang tempat. Keadaan ini membuat para korban semakin terpuruk, terjebak dalam ketidakpastian, menunggu bantuan yang tak kunjung datang.