Hamas Kirim Sinyal Kemenangan, Israel Menerima Pesannya!
Pembebasan tawanan Palestina baru-baru ini menarik perhatian besar, tidak hanya di Gaza tetapi juga di dunia internasional. Ribuan warga turun ke jalan merayakan momen tersebut, mencerminkan dukungan luas terhadap kelompok yang berperan dalam pertukaran tahanan ini.
Menurut Mohamad Elmasry, profesor di Institut Studi Pascasarjana Doha, antusiasme publik dalam perayaan ini mengindikasikan “popularitas dan legitimasi” kelompok yang terlibat dalam proses pembebasan. “Hamas jelas ingin mengirimkan pesan kekuatan dan keteguhan, bukan hanya kepada rakyat Palestina di Gaza, tetapi juga kepada negara-negara Arab, mediator, dan mereka yang memiliki kepentingan dalam situasi pascakonflik,” ujar Elmasry kepada Al Jazeera.
Lebih lanjut, ia menilai ada pesan tersirat yang ditujukan kepada pemerintah Israel. “Upaya ini secara tidak langsung merupakan bentuk tantangan terhadap pemerintahan Netanyahu, yang sebelumnya menegaskan akan menghancurkan Hamas secara militer dan politik,” tambahnya.
Gaza di Tengah Euforia dan Ketegangan
Setelah pembebasan para tahanan Palestina, suasana di Gaza diwarnai campuran antara kegembiraan dan refleksi mendalam. Keluarga-keluarga yang telah lama menantikan momen ini akhirnya bisa bertemu kembali dengan orang-orang terkasih dalam suasana yang penuh emosi.
Namun, momen ini juga memicu ketegangan baru. Pemerintah Israel sempat menunda pembebasan tahanan Palestina setelah beredarnya rekaman perayaan massal di Khan Younis, di mana warga berdesakan dan bersorak menyambut penyerahan tawanan Israel. Reaksi keras dari pejabat Israel terhadap gambar-gambar tersebut menunjukkan betapa sensitifnya situasi pertukaran ini.
Sementara itu, harapan masih menggantung di Gaza. Banyak keluarga Palestina yang menantikan lebih banyak tahanan dibebaskan sebagai bagian dari kesepakatan lanjutan. Untuk saat ini, mereka memilih fokus menikmati momen kebersamaan dengan orang-orang terkasih yang selama bertahun-tahun mendekam di balik jeruji penjara Israel.
Tekanan Warga Israel terhadap Netanyahu
Di sisi lain, di Israel, suara-suara protes mulai terdengar dari keluarga para sandera yang masih berada di Gaza. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tidak menggagalkan kesepakatan gencatan senjata demi kepentingan politiknya.
Dalam sebuah wawancara dengan majalah +972, Yehuda Cohen, yang dikenal sebagai pengkritik tajam kebijakan pemerintah Israel dan ayah dari Nimrod—seorang tentara yang ditawan sejak 7 Oktober—menyatakan bahwa pemerintah Israel turut bertanggung jawab atas penderitaan para prajurit yang masih ditahan di Gaza.
“Israel bukan hanya melakukan pelanggaran terhadap warga Palestina di Gaza, tetapi juga terhadap tentaranya sendiri,” ujarnya. “Saya ingin semua sandera kembali, tapi yang lebih penting adalah menghentikan perang ini dan mencapai solusi yang lebih stabil dan permanen dengan Palestina,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Shachar Mor, yang kehilangan pamannya, Avraham Munder, dalam serangan udara Israel. Menurutnya, kegagalan kesepakatan pertukaran tahanan tahun lalu adalah “hukuman mati” bagi orang-orang seperti pamannya, yang berusia 79 tahun dan memiliki keterbatasan fisik. “Dia bertahan selama 132 hari dalam penahanan hingga akhirnya tewas akibat serangan udara Israel,” ungkapnya.
Masa Depan Kesepakatan dan Harapan Perdamaian
Kisah ini mencerminkan kompleksitas konflik yang masih jauh dari kata usai. Di satu sisi, warga Palestina merayakan kebebasan orang-orang terkasih mereka, sementara di sisi lain, warga Israel yang kehilangan anggota keluarga semakin vokal menentang kebijakan pemerintah mereka.
Dengan tekanan yang semakin meningkat dari berbagai pihak, masa depan negosiasi dan kemungkinan terciptanya gencatan senjata jangka panjang masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal yang pasti: suara rakyat dari kedua belah pihak semakin keras menuntut perubahan dan solusi yang lebih adil bagi semua.