Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan penjelasan mengenai kabar yang beredar tentang penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada transaksi yang menggunakan uang elektronik (e-money). Isu ini sempat menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan pelaku bisnis, sehingga DJP merasa perlu untuk memberikan klarifikasi lebih lanjut terkait kebijakan tersebut.

Menurut DJP, PPN sebesar 12 persen tidak berlaku untuk seluruh transaksi yang melibatkan uang elektronik, melainkan hanya untuk transaksi tertentu yang terkait dengan layanan jasa. Contoh dari transaksi yang dikenakan PPN adalah layanan yang berhubungan dengan e-commerce atau platform yang menghubungkan penjual dan pembeli, serta penyedia layanan uang elektronik yang memberikan layanan dengan biaya tambahan. Sebaliknya, transaksi yang hanya melibatkan transfer uang antar pengguna tanpa adanya unsur layanan yang dikenakan biaya tidak akan dikenai PPN.

DJP menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pengembangan sistem perpajakan yang sesuai dengan era digital, di mana transaksi digital dan penggunaan uang elektronik semakin berkembang pesat. Pengenaan PPN pada jenis transaksi tertentu diharapkan dapat memperluas cakupan perpajakan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak di sektor digital yang selama ini belum sepenuhnya tercakup oleh sistem perpajakan konvensional.

Selain itu, DJP juga menegaskan bahwa mereka akan terus melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat serta pelaku usaha mengenai penerapan kebijakan ini. Agar kebijakan ini diterima dengan baik, DJP berencana untuk bekerja sama dengan penyedia layanan uang elektronik dan platform digital dalam memastikan penerapan PPN yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pengawasan yang lebih ketat juga akan dilakukan untuk menghindari potensi penyalahgunaan yang bisa merugikan konsumen.